PROTEKSI JIWA
Protection untuk beragam gaya hidup Anda dan keluarga
{{title}}
{{label}}Oleh: Tim Personal Medical Management
Obat antidepresan jenis baru telah muncul: senyawa psikoaktif yang mampu mengubah kenyataan untuk membantu penderita mengatasi depresi mereka. Apakah obat tersebut akan lebih efektif daripada pilihan obat sebelumnya?
Sudah 64 tahun berlalu sejak US Food & Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat menyetujui obat antidepresan pertama – imipramine. Namun enam dekade kemudian, para ilmuwan masih berbeda pendapat tentang bagaimana dan apakah obat antidepresan standar mampu mengatasi penyebab depresi.
Obat antidepresan membantu meredakan gejala depresi bagi banyak orang. Tetapi mekanisme pasti tentang bagaimana obat tersebut bekerja masih belum jelas karena kurangnya pemahaman kita terhadap cara kerja otak.
Sebagian besar obat antidepresan yang ada, termasuk imipramine, didasarkan pada teori monoamine: bahwa depresi disebabkan oleh kekurangan dan ketidakseimbangan dalam neurotransmitter (senyawa kimia pengirim sinyal) utama pada otak: serotonin, noradrenalin dan dopamin, yang semuanya memengaruhi suasana hati dan kewaspadaan seseorang.
Selama beberapa tahun terakhir, penelitian baru seputar senyawa psikoaktif telah dilakukan. Senyawa ini memiliki efek yang berbeda pada otak dan memberikan harapan akan potensi adanya peluang baru dalam obat-obatan farmasi untuk pertama kalinya dalam setengah abad ini.
Tetapi zat tersebut juga terbukti lebih kontroversial karena mengandung senyawa antara lain ketamin, MDMA (lebih dikenal sebagai ekstasi) dan psilocybin (unsur aktif dalam “jamur halusinasi”) yang lebih sering dikaitkan dengan penggunaan narkoba untuk kesenangan daripada sebagai perawatan terapeutik.
Terkait efektivitas, laporan utama yang diterbitkan di Lancet tahun 2018 mengungkapkan bahwa peninjauan terhadap 21 obat antidepresan yang ada menunjukkan semua obat tersebut lebih efektif dibandingkan plasebo. Tetapi beberapa memiliki efektivitas lebih tinggi daripada yang lain, berdasarkan kombinasi efektivitas dalam mengurangi gejala depresi dan tingkat putus pengobatan atau drop out (yaitu efek samping yang lebih sedikit).
Lima teratas adalah: tiga jenis SSRI (escitalopram, paroxetine dan sertraline), satu jenis NaSSA (mirtazapine) dan satu obat yang tergolong unik (agomelatine).
Berkat penelitian terbaru mengenai senyawa psikoaktif, sekarang ada berbagai pilihan obat-obatan farmasi yang beredar untuk mengatasi depresi selain penanganan yang tidak terkait dengan obat seperti olahraga dan terapi:
1. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI)
SSRI pertama, fluoxetine, diperkenalkan pada 1980-an, dan dipasarkan sebagai Prozac. Sampai hari ini, SSRI adalah obat antidepresan yang paling banyak diresepkan karena dapat ditoleransi dengan baik.
SSRI adalah jenis obat monoaminergik, yang mencegah serotonin terserap kembali ke dalam sel-sel saraf. Dengan demikian, kadar serotonin yang beredar dalam otak semakin banyak sehingga meningkatkan suasana hati.
2. Serotonin-noradrenaline reuptake inhibitors (SNRI)
Cara kerja golongan obat ini mirip dengan SSRI. Selain serotonin, obat ini juga mencegah penyerapan kembali noradrenalin, sehingga memungkinkan otak untuk mendapatkan manfaat yang lebih lama dari keduanya.
3. Noradrenaline and specific serotonergic antidepressants (NaSSA)
Obat yang paling terkenal di golongan ini adalah mirtazapine. NaSSA memiliki mekanisme yang sedikit berbeda dari SSRI dan SNRI. NaSSA bekerja dengan memperkuat sinyal kimia tertentu sehingga dapat menyampaikan lebih banyak pesan.
4. Tricyclic antidepressants (TCA) atau Antidepresan trisiklik
TCA adalah obat antidepresan tertua yang digunakan. Namun, TCA umumnya hanya diresepkan sebagai penanganan terakhir karena memiliki efek samping yang lebih besar. Obat ini bekerja dengan meningkatkan kadar serotonin dan noradrenalin, serta manghambat neurotransmitter lain yang disebut asetilkolin.
5. Monoamine oxidase inhibitors (MAOs)
Obat antidepresan jenis ini mencegah enzim monoamine oxidase menghancurkan noradrenalin dan serotonin sehingga keduanya dapat bekerja aktif lebih lama.
Seperti halnya TCA, MAO tidak lagi diberikan karena dapat menimbulkan reaksi berbahaya jika berinteraksi dengan beberapa tipe obat, termasuk obat flu dan alergi.
6. Antidepresan psikoaktif
Penelitian terbaru berfokus pada upaya untuk merangsang neurotransmitter yang paling melimpah dalam otak, yaitu glutamat dan brain-derived neurotropic factor (BDNF), protein yang bekerja pada neuron tertentu dalam sistem saraf pusat.
Keduanya bekerja sama untuk meningkatkan koneksi antara sel-sel otak dan meningkatkan plastisitas, kemampuan otak untuk berubah dan beradaptasi dengan informasi baru. Studi menunjukkan bahwa penderita depresi dapat, misalnya, mengalami penyusutan volume hippocampus sebanyak 20%. Hippocampus adalah bagian otak yang bertanggung jawab untuk belajar dan pembentukan memori.
Tidak seperti obat antidepresan yang bisa membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk bekerja, obat psikoaktif dapat langsung dirasakan efeknya. Kemampuan obat ini untuk secara cepat mengubah persepsi dan kenyataan dapat membantu penderita meredakan gejala depresinya.
Obat psikoaktif berfungsi sebagai kunci yang membuka pintu ke alam bawah sadar. Oleh karena itu, obat ini diresepkan bersamaan dengan terapi sehingga penderita dapat merasakan efeknya.
Obat antidepresan psikoaktif juga berbeda dari pendahulunya karena tidak diperbolehkan untuk dibawa pulang. Obat ini diberikan di klinik atau Rumah Sakit untuk mencegah penyalahgunaan dan bahaya jika seseorang dibiarkan menggunakan obat-obatan yang dapat memengaruhi pikiran saat menjalani kehidupan sehari-hari mereka.
Berikut adalah beberapa perkembangan terakhir:
Esketamine: pada tahun 2019, FDA menyetujui bentuk kimia lain dari ketamin, yang awalnya digunakan sebagai anestesi untuk hewan pada 1960-an. Obat ini diberikan melalui semprotan hidung dalam lingkungan klinik atau rumah sakit.
Psilocybin: saat ini ada lebih dari setengah lusin uji klinis yang mengevaluasi bahan aktif dalam jamur ajaib. Satu studi tahun 2021 yang dilakukan oleh Imperial College London menunjukkan bagaimana jamur ini membantu 59 pasien dengan depresi sedang hingga berat.
Kelompok yang menerima psilocybin tidak hanya mencatat perbaikan terhadap gejala secara langsung, tetapi juga efek yang lebih lama daripada kelompok yang menggunakan obat antidepresan standar. Para ilmuwan percaya bahwa jamur ini bekerja dengan membantu orang mendapatkan kontrol kognitif atas emosi, menghilangkan emosi negatif dan proses berpikir negatif.
Nitrous oxide: Sebuah studi tahun 2021 oleh Washington University di St Louis menunjukkan bagaimana gas yang terjadi secara alami (juga dikenal sebagai gas tertawa) membantu mangatasi depresi. Gas ini memiliki cara kerja yang mirip dengan psilocybin – memberi otak “reset pabrik”: dengan menghilangkan pola pikir negatif.
Sumber : https://bit.ly/4746dl6