PROTEKSI JIWA
Protection untuk beragam gaya hidup Anda dan keluarga
{{title}}
{{label}}Oleh: Tim Medix,
Ada harapan baru bagi pasien dengan gejala berat COVID-19. Percobaan terbaru menunjukkan bahwa kortikosteroid tertentu dapat menghentikan reaksi berlebihan dari sistem kekebalan tubuh yang menciptakan inflamasi sitokin yang dapat menyebabkan kerusakan organ. Meski demikian, kita tetap harus berhati-hati.
Ketika Universitas Oxford mengumumkan penemuan awal tentang manfaat obat kortikosteroid deksametason sebagai obat yang berpotensi digunakan dalam terapi COVID-19 pada pertengahan Juni, banyak lembaga medis menyambut gembira berita tersebut.
Akhirnya, ditemukan terobosan yang mungkin bisa mengurangi jumlah angka kematian. Obat ini juga bukan obat paten, sehingga murah dan tersedia secara luas.
Namun berita ini diterima dengan sedikit kewaspadaan. Hampir 60 tahun yang lalu, pabrik asli dexamethasone, Merck, harus menghadap Kongres Amerika Serikat karena telah memasarkan manfaat anti-inflamasi beberapa bulan sebelum menerima izin dari Food & Drug Administration (FDA) untuk memulai penjualan.
Hasil dari audiensi kongres tersebut adalah amandemen Undang-Undang Makanan, Obat-obatan, dan Kosmetik Federal tahun 1962, yang memperkuat posisi FDA. Sejak saat itu, produsen farmasi harus memberikan bukti efektivitas obat serta keamanannya sebelum mereka menerima persetujuan.
Lahirlah era uji klinis. Tetapi masalah dengan uji klinis adalah bahwa mereka membutuhkan waktu yang bisa sangat lama, sedangkan saat ini dunia sedang merasakan kebutuhan mendesak untuk vaksin atau rangkaian perawatan untuk menangani pandemi COVID-19.
Akibatnya, sepanjang tahun ini ada serentetan pengumuman yang terburu-buru berbuntut kontroversi tentang kemanjuran sebuah vaksin atau obat potensial. Di antaranya termasuk pendapat yang berbeda-beda dan seringkali bertentangan tentang manfaat obat anti-malaria hydroxychloroquine sebagai pengobatan potensial COVID-19.
Pengumuman seperti itu sering disebut sebagai sains pada saat press release, walau sebenarnya bukan hasil ulasan dari pihak medis. Ini merupakan batasan halus yang dilalui oleh para ilmuwan ketika harus mengeluarkan informasi yang dapat disangkal tak lama setelah diutarakan.
Namun, para pemimpin percobaan klinis RECOVERY dari Universitas Oxford menerbitkan hasil dari uji klinis deksametason satu minggu setelah pengumuman awal mereka. Studi ini melaporkan penurunan angka kematian hingga sepertiga pada pasien yang memerlukan ventilator dan seperlima pada mereka yang memerlukan oksigen.
Temuan ini sudah cukup untuk mendorong Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menyimpulkan bahwa deksametason memberikan harapan.
Beberapa negara telah menambahkan deksametason ke daftar perawatan yang disetujui untuk COVID-19. Bahkan ada negara-negara yang sudah menggunakannya sebelum ini dan menyaksikan hasil yang menjanjikan. Satu kelompok rumah sakit AS mengatakan telah menggunakan deksametason sejak April dengan hasil yang sangat baik.
Deksametason mungkin bukan satu-satunya kortikosteroid yang membantu mencegah kerusakan dari peradangan yang disebabkan oleh COVID-19. Rumah Sakit Henry Ford di Detroit, Michigan, mengatakan bahwa pihaknya melihat peningkatan hasil dari pasien yang diberi metilprednisolon.
Alasan mengapa kortikosteroid dapat bekerja adalah karena mereka meniru hormon anti-inflamasi, yang seharusnya diproduksi tubuh secara alami. Kunci dalam hal ini adalah kortisol, yang dilepaskan oleh kelenjar adrenal, yang terletak di atas ginjal.
Glukokortikordik seperti deksametason dan metilprednisolon adalah bagian dari kelompok kortikosteroid yang menghentikan produksi sitokin secara berlebihan dari sistem kekebalan tubuh, yang pada akhirnya mengubah mekanisme penyembuhan, malah menjadi musuh bagi tubuhnya sendiri. Obat ini banyak digunakan untuk mengobati kondisi peradangan seperti rheumatoid arthritis, reaksi alergi, penyakit kulit seperti psoriasis dan kolitis ulserativa.
Para peneliti Universitas Oxford menyarankan bahwa deksametason hanya perlu diberikan dalam dosis kecil untuk mendapatkan efek maksimal. Dengan pertimbangan potensi terjadinya efek samping seperti peningkatan tekanan darah dan glukosa darah harus dibatasi.
Namun begitu ada hal yang harus diperhatikan, dan beberapa negara mengadopsi pendekatan observasi. Karena jika deksametason diberikan terlalu dini, ada potensi bahaya bahwa deksametason justru menekan sistem kekebalan tubuh di saat sistem kekebalan tubuh sedang berusaha melawan virus.
Para peneliti Universitas Oxford sepakat bahwa waktu adalah kunci. Mereka percaya bahwa hari ketujuh atau delapan adalah waktu yang optimal karena viral load sudah mulai berkurang pada saat itu. Untuk pasien dengan gejala parah, ini adalah titik di mana yang harus dilakukan bukan lagi mengurangi perbanyakan virus dan tetapi bagaimana menghentikan sistem kekebalan tubuh dari produksi di luar kendali.
Jadi, deksametason tidak mencegah infeksi virus, tetapi bisa menjadi penyelamat potensial terhadap efek samping peradangannya. Ini memungkinkan deksametason digunakan sebagai salah satu dari rangkaian obat untuk mengobati COVID-19.
Begitu juga dengan obat Ebola, remdesivir. Ini sedang diuji coba karena kemampuannya untuk mencegah replikasi virus dalam tahap pertama infeksi.
Sumber : https://www.medix-global.com/ind/content/blog/view/?ContentID=2921