PROTEKSI JIWA
Protection untuk beragam gaya hidup Anda dan keluarga
{{title}}
{{label}}Oleh: Tim Medix,
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang mungkin membunuh lebih banyak orang di Asia tahun ini dibandingkan Covid-19. Kini perawatan baru telah hadir dan lebih banyak dana disiapkan untuk memberantasnya.
Sebuah penyakit yang menyebar melalui tetesan pernapasan dan sebagian besar memengaruhi paru-paru, menyebabkan peradangan dan potensi tinggi terjadinya badai sitokin ini mungkin terdengar tak asing bagi Anda. Ini juga yang menjadi salah satu penyebab utama kematian di dunia dengan bentuk infeksi.
Covid-19 mungkin belakangan terdengar lebih relevan dengan gejala tersebut yang sejauh ini telah menyebabkan 1,15 juta kematian (menurut data resmi yang dilaporkan ke WHO). Namun yang menyumbang jumlah kematian tertinggi di dunia melalui infeksi bukanlah Covid-19, melainkan TB.
WHO memperkirakan bahwa TB dapat membunuh hingga 1,8 juta orang pada tahun 2020. Itu berarti peningkatan angka kematian naik sejumlah 400.000 dibanding tahun 2019 dengan angka kematian tiga kali lebih banyak daripada flu rata-rata dalam satu tahun.
Satu abad yang lalu, TB menjadi momok di Eropa dan AS. Saat ini Asia menjadi lokasi yang terdampak TB terbesar dengan penyebaran endemik di Asia Tenggara dan Asia Selatan (gabungan 44% dari total global).
India menjadi nomor satu di dunia sebagai negara terbanyak penderita TB, dengan 2,64 juta kasus pada 2019, mewakili 193 per 100.000 kepala populasi. Di Indonesia dan Filipina, angka tersebut justru lebih buruk secara hitungan per kepala, yang masing-masing berada pada 312 dan 554 per 100.000.
Jika terjadi penurunan kasus selama tahun 2020, hal itu bukan menjadi sinyal positif karena terjadi akibat menurunnya jumlah diagnosis dan bukan jumlah penyakit. Kepala Program Eliminasi TB Nasional India, misalnya, melaporkan terjadi penurunan 60% dalam pelaporan kasus baru selama lockdown.
Klinik tutup berarti diagnosis dan pengobatan tertunda. Seperti yang dikatakan Direktur Jendral WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus baru-baru ini, bahwa pandemi Covid-19 mengancam hilangnya kemajuan yang telah mereka peroleh selama ini.
Pada tahun 2018 lalu, WHO mengadakan Pertemuan Tingkat Tinggi antar-kepala negara untuk merumuskan kebijakan bersama dalam pemberantasan TB. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga menjadikan pengakhiran TB sebagai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030, dengan menargetkan 90% pengurangan kematian dan 80% pengurangan insiden.
Namun, para peneliti yang menulis di The Lancet pada Oktober ini menyimpulkan bahwa banyak negara gagal memenuhi target TB mereka bahkan sebelum Covid-19 terjadi. Alasannya terletak pada perbedaan TB dengan Covid-19.
Pertama, TB berasal dari bakteri Mycobacterium tuberculosis, sedangkan Covid-19 adalah virus. Kedua infeksi ini memiliki tingkat reproduksi alami di atas tiga, jika tidak ada tindakan yang diambil untuk menghentikan penyebarannya.
Saat pasien yang terinfeksi Covid-19 biasanya mulai menunjukkan gejala dalam dua hingga lima hari, TB dapat tertidur selama bertahun-tahun. Sekitar seperempat populasi dunia diperkirakan memiliki bentuk laten dan kebanyakan dari mereka bahkan tidak menyadarinya.
TB menjadi aktif dan menular saat sistem kekebalan pasien melemah. WHO mencantumkan lima pemicu teratas yang memungkinkan TB muncul, seperti malnutrisi, HIV, diabetes, merokok, dan penyalahgunaan alkohol. Tetapi penyakit apa pun, yang memberikan gangguan kekebalan tubuh, membuat TB lebih mungkin timbul, seperti halnya penuaan.
Kabar baiknya, TB cukup mudah didiagnosis meskipun gejalanya mirip dengan banyak penyakit lain seperti batuk, demam, kelelahan, keringat malam, dan penurunan berat badan yang tidak terduga.
Meski terkadang juga bisa terlewatkan seperti halnya 15% kasus di mana ia muncul pada kelenjar getah bening (terutama leher), tulang dan persendian, bukan di paru-paru.
TB laten dapat ditemukan melalui tes kulit dengan menyuntikan sejumlah kecil zat yang disebut PPD tuberlin. Untuk TB aktif, dokter menggunakan tes Acid-Fast Bacilli untuk menganalisis dahak pasien.
Sebagian besar bentuk TB aktif peka obat, yang berarti dapat dibersihkan dengan antibiotik. Selain itu, ada perkembangan baru, yang mengubah cara pengobatan TB untuk pertama kalinya dalam hampir empat dekade.
Sebuah studi fase III oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) dan AIDS Clinical Trials Group AS melaporkan bahwa pengobatan rutin dengan obat khusus selama empat bulan bisa sama efektifnya dengan pengobatan normal yang dilakukan enam bulan. Lama pengobatan yang lebih pendek merupakan kabar baik bagi pasien dan penyedia layanan kesehatan.
Memang, salah satu alasan utama mengapa angka TB resistan terhadap berbagai obat bertambah (naik 10% pada 2019) adalah karena banyak pasien berhenti minum antibiotik sebelum akhir masa pengobatan penuh. Beberapa pasien juga gagal mendapatkan kombinasi antibiotik yang tepat karena mahal untuk menumbuhkan dan menganalisis bakteri di laboratorium. Kemajuan dalam pengujian genetik dari jenis TB seharusnya membantu mengurangi masalah ini.
Ada juga prospek vaksin baru yakni BCG (Bacillus Calmette-Guerin) yang dinamai menurut nama pengembangnya, Albert Calmette dan Camille Guerin, dan pertama kali dikelola pada tahun 1921.
Namun, kemanjurannya sangat bervariasi dan masih ada pemahaman yang terbatas tentang mengapa hal itu bisa melindungi atau tidak melindungi pada salah satu individu penerima. Vaksin ini juga tampaknya memiliki efek perlindungan yang jauh lebih kuat pada anak-anak daripada orang dewasa.
Keberadaan TB dan ketersediaan antibiotik adalah dua alasan mengapa pengobatannya belum menerima dana sebanyak penyakit lain yang pilihannya lebih terbatas. Alasan lain juga berkaitan dengan geografi. TB sekarang sebagian besar terjadi pada negara berkembang yang tidak memiliki sumber daya keuangan untuk menangani masalah seperti yang dimiliki negara maju.
Namun awal tahun ini, Bill and Melinda Gates Foundation mengambil alih pengembangan kandidat vaksin baru, yang dikenal sebagai M72. Tahun lalu, New England Journal of Medicine melaporkan hasil lengkap uji coba Fase II, yang menunjukkan penurunan 50% kasus TB aktif selama tiga tahun, periode pasca vaksinasi.
Pilihan pengobatan baru lainnya termasuk memvaksinasi ulang remaja. Sebuah penelitian yang juga diterbitkan dalam New England Journal of Medicine, melaporkan penurunan 45% tingkat infeksi di antara 1.000 remaja Afrika Selatan yang mendapat suntikan BCG kedua.
Dewan Riset Medis Inggris juga menindaklanjuti uji coba pra-klinis yang sukses pada monyet untuk memberikan vaksin melalui inhaler daripada suntikan.
WHO ingin memobilisasi tambahan 2 miliar dollar per tahun untuk berinvestasi dalam penelitian TB pada tahun 2022 dan 13 miliar dollar per tahun untuk meningkatkan akses ke diagnosis, pengobatan, dan perawatan TB. Bulan September ini mereka telah merilis laporan kemajuan, sayangnya hasilnya masih belum meyakinkan.
Sejauh tahun ini, hanya 6,5 miliar dollar yang telah dikumpulkan untuk diagnosis, yang berarti setengah dari target. WHO mengakui bahwa kemajuan telah dicapai. Namun hal itu tidak cukup dan perlu perhatian yang jauh lebih serius jika dunia ingin melepaskan diri dari penyakit yang telah ada setidaknya selama sembilan milenium ini.
Pada pergantian abad kita saat ini, jejak peyakit ini ditemukan di tulang kerangka seorang ibu berusia 9.000 tahun dan seorang bayi yang di lepas pantai Israel. Mari kita semua berharap hal itu tidak lagi berada di tulang siapa pun pada saatnya nanti.