PROTEKSI JIWA
Protection untuk beragam gaya hidup Anda dan keluarga
{{title}}
{{label}}Oleh: Tim Medix
Obat radang sendi digunakan untuk merawat pasien Covid-19. Akankah pandemi memperdalam pemahaman kita tentang penyakit autoimun paling umum di dunia dan membantu para ilmuwan menemukan cara untuk mencegahnya daripada mengobati gejalanya?
Pada 2020, tidak masalah apakah seseorang adalah ilmuwan terlatih atau orang biasa, namun setiap orang akhirnya dengan cepat terseret untuk berurusan dengan cara kerja bagian dalam sistem kekebalan manusia, entah mereka mau atau tidak.
Mayoritas orang belum pernah mendengar tentang sel-B atau sel-T sebelumnya, apalagi tahu fungsi dari sel-sel ini. Sekarang kebanyakan dari kita memiliki setidaknya pemahaman dasar tentang peran mereka dalam sistem kekebalan, menangkis patogen eksternal seperti virus Covid-19.
Kita juga sekarang tahu apa yang bisa terjadi ketika sistem kekebalan tubuh rusak dan berbalik melawan kita, yang berpotensi menimbulkan kerusakan mengerikan pada satu demi satu organ saat mencoba menyingkirkan virus Covid-19. Sejauh ini, pengobatan yang paling efektif melawan peradangan badai sitokin ini adalah obat-obatan yang telah lama digunakan untuk menangani kondisi autoimun seperti pada rheumatoid arthritis (rematik), diabetes tipe-1, dan penyakit radang usus.
Ini adalah penyakit, yang disebabkan oleh serangan ketika sistem kekebalan menjadi "bingung" dan mulai menyerang jaringan sehat karena mengira ada patogen yang perlu disingkirkan dengan menghasilkan antibodi. Yang paling umum adalah rematik, ketika sistem kekebalan secara keliru mengirimkan antibodi ke lapisan antara sendi yang dikenal sebagai sinovium.
Peradangan yang terjadi menyebabkan sinovium membengkak. Ketika pembengkakan mereda (biasanya sementara, kecuali kondisinya didiagnosis dengan cepat), sinovium tidak dapat lagi menahan persendian dengan aman di tempatnya. Bahan kimia yang dilepaskan oleh respons peradangan ini juga menyebabkan kerusakan tambahan pada tulang dan jaringan di sekitarnya seperti tulang rawan dan tendon.
Penderitanya mengalami nyeri, kemerahan, bengkak dan kaku. Rematik memengaruhi hingga 1% populasi dunia dan dua hingga tiga kali lebih mungkin terjadi pada wanita dibandingkan pria. Biasanya muncul dengan cepat dan pada usia yang jauh lebih muda dibandingkan dengan osteoatritis, yang umumnya disebabkan oleh keausan terkait usia menua.
Belum ada obat yang diketahui. Kecuali jika dikelola dengan baik, penyakit ini dapat berubah menjadi penyakit kronis dan tentunya melemahkan.
Rasa sakit itu menyebabkan banyak penderitanya berhenti bekerja. Ini juga memicu masalah kesehatan mental di hampir seperlima kasus dan meningkatkan risiko kondisi peradangan yang berpotensi mematikan lainnya mulai dari penyakit jantung hingga stroke.
Para ilmuwan masih belum tahu persis mengapa sistem kekebalan salah mengenali. Akibatnya, sebagian besar perawatan yang ada menargetkan peradangan untuk mengontrol rasa sakit, atau mencoba mencegah kerusakan lebih lanjut dengan meminimalkan kambuh.
Steroid adalah salah satu lini serangan pertama untuk mengurangi peradangan. Mereka telah digunakan untuk mengobati rematik sejak 1948 ketika seorang wanita berusia 29 tahun disuntik dengan obat eksperimental di Mayo Clinic di AS. Dua hari dan dua suntikan kemudian, dia merasa cukup sehat untuk dipulangkan dan pergi berbelanja selama tiga jam.
Selama setahun terakhir, steroid yang disebut deksametason juga telah menjadi obat garis depan untuk meredam peradangan terkait Covid. Pada akhir tahun 2020, para ilmuwan menemukan bahwa obat ini bahkan lebih manjur bila diberikan bersamaan dengan obat rematik kedua yang disebut tocilizumab.
Jenis obat ini disebut biologic. Ini adalah antibodi, mirip dengan yang diproduksi oleh sistem kekebalan manusia secara alami untuk melawan bakteri dan virus. Tapi mereka "dirancang khusus" untuk menargetkan komponen sistem kekebalan seperti sel B, sel T dan kemokin tertentu (protein pemberi sinyal).
Biologic telah merevolusi pengobatan rematk selama dua dekade terakhir dengan mengontrol respon autoimun.
Tocilizumab disahkan oleh US Food & Drug Administration (FDA) pada 2010. Ini menghasilkan antibodi yang memblokir reseptor sel yang disebut interleukin 6 (IL-6). Reseptor ini bertindak seperti bendera untuk sistem kekebalan, memberitahukannya mengirim pasukan, jika ada terlalu banyak, ini akan menyebabkan peradangan.
Masalah dengan steroid dan biologic adalah adanya efek samping. Biologic juga mahal, sehingga jauh dari jangkauan pasien di banyak negara berkembang.
Tetapi yang lebih penting, mematikan sistem kekebalan adalah perbaikan jangka pendek. Dalam jangka panjang, hal itu meningkatkan risiko penyakit dan infeksi lain.
Jadi para ilmuwan ingin memahami apa yang menyebabkan rematik sejak awal. Jika mereka dapat memahami asal dan jalur penyakitnya, maka mereka memiliki peluang yang jauh lebih baik untuk mengembangkan obat yang mencegahnya sementara sistem kekebalan lainnya tetap berjalan seperti biasa.
Akhir tahun lalu, sekelompok akademisi menerbitkan sebuah artikel di Lancet yang membahas tentang potensi imunoterapi - memanfaatkan sistem kekebalan untuk memperpanjang remisi, atau bahkan mencegah terjadinya penyakit ini. Mereka mencatat bahwa sementara imunoterapi semakin banyak digunakan untuk mengobati sejumlah kanker, penelitian masih pada tahap yang masih sangat awal untuk penyakit autoimun.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir ada sejumlah penelitian yang meneliti mengapa beberapa pasien kanker jadi menderita rematik setelah dirawat dengan obat imunoterapi. Namun kabar baiknya adalah bahwa para ilmuwan sekarang secara aktif mengevaluasi pasien kanker yang berisiko terkena rematik. Secara tradisional, dokter hanya bisa mulai mengungkap bagaimana rematik berkembang begitu penderita menunjukkan gejala.
Vaksin berbasis peptida potensial juga sedang diteliti, meskipun ini masih pada tahap yang sangat awal. Salah satu bidang penelitian adalah vaksin yang menekan jenis sel-T tertentu.
Ini adalah sel-T yang menstimulasi sistem kekebalan secara berlebihan untuk menghasilkan antibodi karena mereka tidak dapat membedakan antara antigen-diri yang “baik” (proses sel normal) dan antigen non-diri yang “buruk” (patogen eksternal seperti virus). Ketika tubuh berfungsi normal, sel-T melalui proses pemeriksaan ketika mereka menjadi dewasa di kelenjar getah bening dan proses kimiawi membunuh yang terlalu agresif sebelum mereka terbentuk sempurna.
Namun, proses ini tidak berhasil dengan baik pada orang yang mulai menderita penyakit autoimun. Pada awal Februari, Pfizer menandatangani perjanjian R&D dan lisensi dengan perusahaan bioteknologi Belgia bernama Imcyse untuk mengembangkan obat untuk mencoba dan mengatasi masalah ini.
Imunoterapi menawarkan prospek bahwa suatu hari nanti mungkin ada obat untuk rematik. Apa yang dipelajari para ilmuwan dari Covid-19 dapat membantu mempercepat hal ini.
Selama 40 tahun terakhir, perawatan juga telah berkembang pesat. Perubahan bentuk sendi atau deformitas yang signifikan jauh lebih jarang. Lebih sedikit pasien yang harus duduk di kursi roda karena nyeri yang melumpuhkan.
Tapi rematik tetap merupakan penyakit yang perlu ditangani dengan serius. Kewaspadaan adalah intinya. Ini adalah penyakit yang mendapat manfaat dari kunjungan cepat ke dokter saat gejala pertama muncul karena ada obat yang dapat mencegah kerusakan lebih lanjut dan memungkinkan penderitanya menjalani kehidupan yang produktif.
Sumber : https://www.medix-global.com/ind/content/blog/view/?ContentID=3161.