PROTEKSI JIWA
Protection untuk beragam gaya hidup Anda dan keluarga
{{title}}
{{label}}Oleh: Tim Personal Medical Management
Menurut data, satu dari sepuluh wanita menderita endometriosis. Akan tetapi, dibutuhkan waktu hingga satu dekade untuk dapat mendiagnosa penyakit ini dikarenakan gejala yang ditimbulkan cenderung ‘membingungkan’ dengan kondisi lain. Hingga saat ini, pilihan pengobatan endometriosis juga masih sangat terbatas. Namun, berdasarkan penelitian terbaru, melalui hubungan genetik telah ditemukan pengobatan non-hormonal pertama yang dapat dilakukan untuk memulihkan penyakit ini.
Berbicara mengenai endometriosis, penyakit ini sebenarnya telah lama diteliti oleh dokter Yunani kuno Hippocrates sejak 2000 tahun yang lalu. Gejala yang ditimbulkan pun cenderung masih sama; yakni nyeri haid dan infertilitas.
Hingga abad ke-2, penyakit endometriosis juga belum sepenuhnya ditemukan penyebab pastinya. Perawatannya pun masih sangat terbatas, meskipun di zaman itu, terapi membuang darah serta terapi menggunakan lintah lumrah digunakan oleh para dokter di sebagian besar sejarah Eropa.
Bahkan, kelompok advokasi global menyatakan bahwa kesadaran publik mengenai endometriosis masih sangat rendah dan perlu ditingkatkan. Di bulan Maret 2022, badan amal Endometriosis UK menerbitkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa 33% wanita di Inggris tidak tahu apa itu endometriosis dan meningkat hingga 62% pada wanita dengan rentang usia 16-24 tahun.
Terlebih lagi berdasarkan data dari penelitian, dari seluruh wanita yang menjawab pernah mendengar tentang kondisi endometriosis, hanya 45% yang mampu menjelaskan dengan baik gejala dari penyakit tersebut.
Penelitian ini diterbitkan bertepatan dengan Bulan Endometriosis Sedunia. Bulan Endometriosis diperingati setiap Maret yang ditetapkan pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1993.
Kesadaran kanker payudara dilambangkan dengan pita merah muda. Sementara, Endometriosis dilambangkan dengan pita bewarna kuning.
Apa itu endometriosis?
Ketika seorang wanita masuk ke dalam siklus menstruasi, secara otomatis, lapisan rahim (endometrium) akan bersiap untuk ‘memberi makan’ calon janin dengan memproduksi hormon estrogen dan progesteron yang akan menebalkan dinding rahim. Jika tidak terjadi pembuahan, maka lapisan rahim yang terbentuk akan luruh dan keluar dari tubuh melalui vagina.
Endometriosis terjadi ketika jenis jaringan yang sama mulai tumbuh pada bagian tubuh yang lain seperti saluran tuba dan ovarium. Jika jaringan tersebut tidak keluar, maka darah yang terperangkap akan menumpuk dan mengakibatkan lesi serta jaringan parut yang bervariasi secara ukuran dan warna (merah, putih, coklat, hitam, biru atau bening).
Kondisi ini dapat menyerang pada berbagai usia dan memiliki dampak jangka panjang yang signifikan. Wanita yang mengalami penyakit ini, sebagian tidak menunjukkan gejala. Sementara, banyak juga yang melaporkan bahwa mereka merasakan nyeri yang cukup hebat. Secara umum, endometriosis memiliki gejala sebagai berikut:
Standar diagnosa endometriosis paling umum adalah melalui Tindakan laparoskopi (keyhole surgery, menggunakan sayatan kecil dengan bantuan kamera), diikuti dengan biopsi jaringan. Namun, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diagnosis dengan metode ini seringkali membutuhkan waktu yang lama, hingga mencapai satu dekade.
Kini, Medix hadir dan akan menguraikan berbagai perawatan yang tersedia untuk melawan endometriosis. Selama beberapa tahun terakhir, perkembangan mengenai pengobatan alternatif terhadap penyakit ini mulai bermunculan seiring dengan meningkatnya atensi medis terhadap Endometriosis. Beberapa tahapan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Obat penghilang rasa sakit
Mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit merupakan pengobatan standar awal, terutama untuk wanita yang mengalami nyeri ringan. Obat yang diberikan yakni adalah obat anti-inflamasi seperti ibuprofen atau parasetamol.
2. Obat Hormon
Pengenalan pil KB pada tahun 1960 memiliki efek yang signifikan pada pengobatan endometriosis.
Menjelang akhir abad ke-20, beberapa obat yang termasuk agonis GnRH juga mulai dipasarkan. Obat ini merupakan versi sintetis dari hormon gonadotropin yang dapat mengontrol siklus menstruasi dengan menghentikan produksi hormon estrogen.
Pengobatan ini awalnya dilakukan melalui injeksi. Hingga akhirnya pada tahun 2018, Badan Pengawas Obat & Makanan AS (FDA) menyetujui pil GnRH oral pertama yang dikenal sebagai Orilissa (elagolix).
3. Ablasi
Wanita yang tidak berencana untuk memiliki anak dapat memilih tindakan ablasi untuk mengobati endometriosis. Ablasi tidak termasuk dalam tindakan operasi, karena tidak melalui proses sayatan.
Prosedur ablasi dilakukan melalui vagina. Adapun metode yang dilalui untuk menghilangkan lapisan endometrium, antara lain dengan proses pemanasan (cairan yang dipanaskan), pembekuan (cryoablation), hingga laser.
4. Operasi
Jika gejala yang muncul tidak kunjung membaik pada pengobatan non-bedah, dokter biasanya akan menyarankan pasien untuk melakukan tindakan eksisi laparoskopi; yakni memotong jaringan endometriotik menggunakan panas yang intens
Tujuannya adalah untuk menghilangkan lesi dan jaringan parut tanpa merusak jaringan yang sehat.
5. Dikloroasetat
Pada tahun 2019, para peneliti dari University of Edinburgh mengumumkan bahwa mereka mampu menghentikan endometriosis setelah mengobati sel dengan dichloroacetate (DCA). DCA merupakan senyawa non-hormonal yang sebelumnya digunakan untuk mengobati gangguan metabolisme pada anak-anak.
Mereka menemukan bahwa DCA dapat menurunkan produksi laktat dan menghentikan pertumbuhan sel endometrium yang abnormal. Pada Maret 2021, mereka meluncurkan studi kelayakan yang melibatkan 30 wanita.
6. NPSR1 Inhibitor
Sejak tahun 1980, diketahui bahwa endometriosis merupakan penyakit yang dapat menurun secara genetis. Saat itu, penelitian pertama dilakukan oleh Profesor Krina Zondervan dari Universitas Oxford yang mengawasi studi sampel jaringan terbesar di dunia.
Dia menemukan bahwa terdapat hubungan genetik pada kromosom 7p13-15, ditambah hubungan genetik dengan kondisi peradangan lainnya termasuk osteoarthritis dan asma. Para peneliti lain yang bekerja Bersama Profesor Krina di Bayer College of Medicine AS kemudian mempersempit penyebab genetik varian pada gen NPSR1.
Di tahun 2021, mereka mengumumkan bahwa mereka mampu mengurangi peradangan dan nyeri pada perut setelah menggunakan inhibitor NPSR1 untuk memblokir sinyal protein pada tikus.
Uji klinis belum dimulai, tetapi para peneliti yakin bahwa inhibitor NPSR1 dan obat lain yang digunakan untuk mengontrol osteoartritis dan asma dapat berpotensi sebagai terapi untuk endometriosis.
Sumber : https://bit.ly/3EaAErT